Secara umum, saat PENTAKOSTA, kita mengingat roh kudus. Kehadiran roh kudus, diceritakan dalam Alkitab ditandai dengan angin kencang dan lidah-lidah api. Di samping itu, muncul fenomena unik yakni terjadi percakapan yang dilangsungkan dengan beragam bahasa oleh para rasul. Kisah rasul menulis “ketika turun bunyi itu, berkerumunlah orang banyak. Mereka bingung karena mereka masing-masing mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri (Kisah Para Rasul 2:6).”
Saat mengingat tentang roh kudus, jemaat kristen umumnya akan bertanya mengenai bahasa roh, namun, saya kemudian juga bertanya (2) seberapa pentingkah bahasa roh/bahasa lidah itu? Pertanyaan penting sebelum itu yang harus kita ungkapkan adalah, (1) apakah ada benda (noun) yang bernama bahasa lidah?
Pertanyaan pertama harus dijawab sesudah pertanyaan kedua diuraikan terlebih dahulu. Maka dari itu, mari kita uraikan.
Dari segi sosio-linguistik, dunia berbahasa Yunani, lidah memainkan peran penting saat berujar. Maksudnya, pengucapakan kata dalam bahasa Yunani diperlukan pergerakan lidah yang tepat untuk membunyikan kata secara benar agar mudah dipahami. Tuntutan ini persis dama dengan kebutuhan suara “kerongkongan” saat membunyikan bahasa Ibrani sebab suara/lafal bahasa Ibrani. Semakin dalam penggunaan suara kerongkongnan, maka semaki tepat pelafalan kata Ibrani. Sama seperti orang Ibrani, semakin benar pelekukan lidah orang Yunani, maka semakin tepat bunyi kata yang terujar.
Lebih lanjut, kata berbicara (aktifitas menggerakan lidah) dalam Alkitab bahasa Yunani asli disebut glossolalia. Kata Yunani glossolalia merupakan gabungan dua kata glossa (lidah) dan laleo (berbicara). Kata laleo sendiri di dalam Alkitab tidak pernah dipergunakan terlepas dari glossa. Kata Yunani glossa (pl. glossais) muncul di dalam Alkitab sebanyak 50 kali hanya untuk dua arti saja, yaitu organ tubuh manusia di dalam mulut (biologis) dan bahasa yang dipakai oleh sebuah kelompok budaya (linguistik). Ketika dipakai dalam pengertian kedua, maka selalu yang dimaksud adalah bahasa yang dikenali di dunia ini [1].
Kata glossolalia oleh Ekaputra Tupamahu, seorang ahli perjanjian baru dari Portland Seminary dimaksudkan sebagai aktifitas lidah (bodily performance). Artinya glossolalia adalah aktifitas berbicara normal saja. Berbicara adalah aktifitas berbicara biasa dan bukan berbicara a la roh yan dipikirkan banyak orang. Tegasnya, glossolalia itu sebenarnya bukan ilmu berbahasa roh alias bahasa yang sulit dipahami melainkan bericara atau berkata-kata (saja).
Wajarlah jika kita membaca Kisa Para Rasul 2 secara utuh, bahasa para rasul sesudah dihinggapi roh kudus adalah bahasa yang ada di dunia. Para rasul tidak berbicara aneh-aneh. Bahasa yang mereka ucapkan masih dimengerti orang-orang yang hadir di sana; Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea? Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita (Kisah Para Rasul 2:7-8). (Pertanyaan pertama selesai)
Lalu bagaimana kaitannya dengan karunia atau hubungan berjemaat (pertanyaan kedua) seperti yang dikatakan Paulus pada kitab korintus?
1 Korintus Pasal 13 biasanya dijadikan dasar keberadaan bahasa roh/bahasa lidah. Jika kita baca secara lebih utuh, inti pasal ini bukan bahasa lidah, namun kasih. Paulus mulai dengan menegaskan bahwa “sekalipun” (Paulus membuat sebuah pengandaian di sini) ia bisa berbicara dengan semua bahasa manusia dan bahkan bahasa malaikat, semuanya sia-sia tanpa adanya kasih. Paulus sama sekali tidak menyamakan bahasa lidah dengan bahasa malaikat [2].
Maka sejatinya, apa yang ingin disampaikan Paulus sebagai tema pokok pasal itu adalah kasih. Di situ Paulus menggunakan kata kontras-meskipun- yang mengartikan bahwa keutamaan hidup bersama ada pada kasih dan bukan bahasa lidah. Malah sebenarnya kata bahasa lidah pada ayat itu juga glossolalia. Dengan demikian kata bahasa di situ tidak merujuk pada karunia yang fantastis melainkan fakta perbedaan bahasa semata (ordinary language).
Pada pasal itu, Paulus sebenarnya ingin mempertengahi konflik jemaat yang merasa janggal dan aneh dengan perbedaan bahasa. Perbedaan menjadi fakta umum dalam jemaatnya sebab seperti yang kita ketahui bersama Korintus adalah kota meropolitan yang dipenuhi oleh masyarakat pendatang. Barangkali persis dengan kota Jakarta dan Salatiga yang diisi oleh manusia-manusia dari seluruh suku di Indonesia.
Paulus pun lewat pasal 13 itu ingin menegaskan: perbedaan bahasa bukan menjadi masalah, yang utama adalah hidup bersama, sebagai komunitas, dalam kasih! Yang utama adalah kasih dalam perbedaan bukan perbedaan mendahului kasih.
Kembali kepada kisah PENTAKOSTA, singkat kata, glossolalia (bahasa) di dalam peristiwa Pentakosta adalah xenolalia (bahasa asing). Bahasa itu diucapkan oleh para pengikut Yesus, yang berasal dari beragam daerah, yang kebetulan datang ke situ untuk melihat Yesus untuk terakhir kalinya. Saat Roh kudus menghinggapi mereka, mereka kemudian berbicara untuk satu sama lain.
Sebagai penutup, bahasa roh itu tidak ada makna atau keunikannya dalam penjelasan kitab perjanjian baru. Tidak ada penjelasan bahasa roh secara khusus. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa manusia. Saya pribadi condong sepakat dengan Paulus bahwa yang terpenting bukan bahasanya melainkan kasih di dalam komunitas. Kasih mengatasi segala perbedaan termasuk perbedaan bahasa.
Maka jika kita mempertemukan arti PENTAKOSTA dalam bahasa Paulus dan Lukas (penulis kisah Rasul). yang terpenting dari PENTAKOSTA adalah Allah memampukan kita untuk hidup dalam kasih melalui pertolongan Roh Kudus.
[1] Joas Adiprasetya, “Bagaimana Kia Menyikapi Bahasa ROh,” dalam http://gkipi.org/bagaimana-menyikapi-bahasa-lidah-glossolalia/
[2] Joas Adiprasetya, “Bagaimana Kia Menyikapi Bahasa ROh,” dalam http://gkipi.org/bagaimana-menyikapi-bahasa-lidah-glossolalia/