Arti PENTAKOSTA dan Fenomena Bahasa-Lidah

Sumber: beritamedia.id

Secara umum, saat PENTAKOSTA, kita mengingat roh kudus. Kehadiran roh kudus, diceritakan dalam Alkitab ditandai dengan angin kencang dan lidah-lidah api. Di samping itu, muncul fenomena unik yakni terjadi percakapan yang dilangsungkan dengan beragam bahasa oleh para rasul. Kisah rasul menulis “ketika turun bunyi itu, berkerumunlah orang banyak. Mereka bingung karena mereka masing-masing mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa mereka sendiri (Kisah Para Rasul 2:6).”

Saat mengingat tentang roh kudus, jemaat kristen umumnya akan bertanya mengenai bahasa roh, namun, saya kemudian juga bertanya (2) seberapa pentingkah bahasa roh/bahasa lidah itu? Pertanyaan penting sebelum itu yang harus kita ungkapkan adalah, (1) apakah ada benda (noun) yang bernama bahasa lidah?

Pertanyaan pertama harus dijawab sesudah pertanyaan kedua diuraikan terlebih dahulu. Maka dari itu, mari kita uraikan.

Dari segi sosio-linguistik, dunia berbahasa Yunani, lidah memainkan peran penting saat berujar. Maksudnya, pengucapakan kata dalam bahasa Yunani diperlukan pergerakan lidah yang tepat untuk membunyikan kata secara benar agar mudah dipahami. Tuntutan ini persis dama dengan kebutuhan suara “kerongkongan” saat membunyikan bahasa Ibrani sebab suara/lafal bahasa Ibrani. Semakin dalam penggunaan suara kerongkongnan, maka semaki tepat pelafalan kata Ibrani. Sama seperti orang Ibrani, semakin benar pelekukan lidah orang Yunani, maka semakin tepat bunyi kata yang terujar.

Lebih lanjut, kata berbicara (aktifitas menggerakan lidah) dalam Alkitab bahasa Yunani asli disebut glossolalia. Kata Yunani glossolalia merupakan gabungan dua kata glossa (lidah) dan laleo (berbicara). Kata laleo sendiri di dalam Alkitab tidak pernah dipergunakan terlepas dari glossa. Kata Yunani glossa (pl. glossais) muncul di dalam Alkitab sebanyak 50 kali hanya untuk dua arti saja, yaitu organ tubuh manusia di dalam mulut (biologis) dan bahasa yang dipakai oleh sebuah kelompok budaya (linguistik). Ketika dipakai dalam pengertian kedua, maka selalu yang dimaksud adalah bahasa yang dikenali di dunia ini [1].

Kata glossolalia oleh Ekaputra Tupamahu, seorang ahli perjanjian baru dari Portland Seminary dimaksudkan sebagai aktifitas lidah (bodily performance). Artinya glossolalia adalah aktifitas berbicara normal saja. Berbicara adalah aktifitas berbicara biasa dan bukan berbicara a la roh yan dipikirkan banyak orang. Tegasnya, glossolalia itu sebenarnya bukan ilmu berbahasa roh alias bahasa yang sulit dipahami melainkan bericara atau berkata-kata (saja).

Wajarlah jika kita membaca Kisa Para Rasul 2 secara utuh, bahasa para rasul sesudah dihinggapi roh kudus adalah bahasa yang ada di dunia. Para rasul tidak berbicara aneh-aneh. Bahasa yang mereka ucapkan masih dimengerti orang-orang yang hadir di sana; Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea? Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita (Kisah Para Rasul 2:7-8). (Pertanyaan pertama selesai)

Lalu bagaimana kaitannya dengan karunia atau hubungan berjemaat (pertanyaan kedua) seperti yang dikatakan Paulus pada kitab korintus?

1 Korintus Pasal 13 biasanya dijadikan dasar keberadaan bahasa roh/bahasa lidah. Jika kita baca secara lebih utuh, inti pasal ini bukan bahasa lidah, namun kasih. Paulus mulai dengan menegaskan bahwa “sekalipun” (Paulus membuat sebuah pengandaian di sini) ia bisa berbicara dengan semua bahasa manusia dan bahkan bahasa malaikat, semuanya sia-sia tanpa adanya kasih. Paulus sama sekali tidak menyamakan bahasa lidah dengan bahasa malaikat [2].

Maka sejatinya, apa yang ingin disampaikan Paulus sebagai tema pokok pasal itu adalah kasih. Di situ Paulus menggunakan kata kontras-meskipun- yang mengartikan bahwa keutamaan hidup bersama ada pada kasih dan bukan bahasa lidah. Malah sebenarnya kata bahasa lidah pada ayat itu juga glossolalia. Dengan demikian kata bahasa di situ tidak merujuk pada karunia yang fantastis melainkan fakta  perbedaan bahasa semata (ordinary language).

Pada pasal itu, Paulus sebenarnya ingin mempertengahi konflik jemaat yang merasa janggal dan aneh dengan perbedaan bahasa. Perbedaan menjadi fakta umum dalam jemaatnya sebab seperti yang kita ketahui bersama Korintus adalah kota meropolitan yang dipenuhi oleh masyarakat pendatang. Barangkali persis dengan kota Jakarta dan Salatiga yang diisi oleh manusia-manusia dari seluruh suku di Indonesia.

Paulus pun lewat pasal 13 itu ingin menegaskan: perbedaan bahasa bukan menjadi masalah, yang utama adalah hidup bersama, sebagai komunitas, dalam kasih! Yang utama adalah kasih dalam perbedaan bukan perbedaan mendahului kasih.

Kembali kepada kisah PENTAKOSTA, singkat kata, glossolalia (bahasa) di dalam peristiwa Pentakosta adalah xenolalia (bahasa asing). Bahasa itu diucapkan oleh para pengikut Yesus, yang berasal dari beragam daerah, yang kebetulan datang ke situ untuk melihat Yesus untuk terakhir kalinya. Saat Roh kudus menghinggapi mereka, mereka kemudian berbicara untuk satu sama lain.

Sebagai penutup, bahasa roh itu tidak ada makna atau keunikannya dalam penjelasan kitab perjanjian baru. Tidak ada penjelasan bahasa roh secara khusus. Bahasa yang dimaksud adalah bahasa manusia. Saya pribadi condong sepakat dengan Paulus bahwa yang terpenting bukan bahasanya melainkan kasih di dalam komunitas. Kasih mengatasi segala perbedaan termasuk perbedaan bahasa.

Maka jika kita mempertemukan arti PENTAKOSTA dalam bahasa Paulus dan Lukas (penulis kisah Rasul). yang terpenting dari PENTAKOSTA adalah Allah memampukan kita untuk hidup dalam kasih melalui pertolongan Roh Kudus.

[1] Joas Adiprasetya, “Bagaimana Kia Menyikapi Bahasa ROh,” dalam http://gkipi.org/bagaimana-menyikapi-bahasa-lidah-glossolalia/

[2] Joas Adiprasetya, “Bagaimana Kia Menyikapi Bahasa ROh,” dalam http://gkipi.org/bagaimana-menyikapi-bahasa-lidah-glossolalia/

Hidup Bermental Kristus di Masa Pandemi Covid-19

Art Of People; sumber: saduran bebas

Bahan Bacaan: Yohanes 14:15-21 [1]
Yesus menjanjikan Penghibur

14:15 “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku. 14:16 Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya, 14:17 yaitu Roh Kebenaran 3 . Dunia tidak dapat menerima Dia, sebab dunia tidak melihat Dia dan tidak mengenal Dia. Tetapi kamu mengenal Dia, sebab Ia menyertai kamu dan akan diam di dalam kamu. 14:18 Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu 5. 14:19 Tinggal sesaat lagi dan dunia tidak akan melihat Aku lagi, tetapi kamu melihat Aku, sebab Aku hidup dan kamupun akan hidup. 14:20 Pada waktu itulah kamu akan tahu, bahwa Aku di dalam Bapa-Ku dan kamu di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. 14:21 Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.”

Tafsiran dan Pengembangan Tafsiran:

Teks Yohanes 14:15-21 adalah sebuah penggalan cerita di akhir perjalanan Yesus. Sesunggunya teks ini tidak bisa dibaca terpisah dari perikop Yohanes 14:1-21 yang diberi tema “Rumah Bapa” oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Tema “Rumah Bapa” dan “Yesus Menjanjikan Penghibur” adalah satu kesatuan [2]. Janji penghibur pada teks 14:15-21 muncul karena rasa kekhawatiran murid Yesus akan kepergian Yesus (14:1) “Janganlah gelisah hatimu; percayalah kepada Allah, percayalah juga kepada-Ku.”

Murid-murid yang tahu bahwa Yesus harus segera disalib dan mati oleh karena itu para murid dilanda rasa khawatir dan ketakutan yang hebat akan akan kepergian pemimpin gerakan pelayanan kasih mereka.

Menariknya, kegelisahan dalam teks Yohanes 14:1 dibandingkan dengan kata “percaya.” Yang berarti sebuah kegelisahan melunturkan rasa percaya dan sebaliknya rasa percaya mengalahkan kegelisahan. Maka dari itu, Yohanes 14 bisa dikatakan sebagai sebuah cerita dari upaya Yesus untuk memperkuat keyakinan percaya para murid-Nya.

Lebih lanjut, kita perlu bertanya mengapa kegelisahan pun menjadi lawan dari kepercayaan? Jawaban itu terdapat dalam teks Yohanes 14:15-21. Pada teks tersebut, Yesus menunjukan bahwa kepercayaan menjadi kunci dari keyakinan dan kemauan teguh untuk melaksanakan perintah Tuhan. Di sini kita melihat dengan lebih jelas mengapa kegelisahan perlu untuk dihilangkan dari hati seorang murid. Yesus menantang para muridnya untuk tidak gelisah dengan berkata “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku (14:15).

Saya yakin bahwa kalimat itu dikeluarkan Yesus sebagai penegas bahwa ajaran Yesus hanya bisa dilaksanakan dalam keyakinan teguh. Dengan kata lain, iman menjadi perbuatan di dalam kepercayaan yang utuh kepada Firman Allah.Yesus menyadari ketakutan mereka. Yesus pun menegur mereka sekaligus Penegasan itu diikuti dengan janji Yesus yang menyatakan bahwa Yesus akan menyediakan temat yaitu Rumah Bapa dan Pengganti dirinya yaitu Roh Kudus.

Keterkaitan antara kekuatan iman mengalahkan ketakukan menjadi salah satu pokok pembahasan yang didalami oleh seorang tokoh kristen pemurung berkebangsaan Denmark bernama Soren Aabey Kierkegaard. Soren Aabey Kierkegaard menuangkan refleksi Iman dan ketakutan itu dalam bukunya yang berjudul “Fear and Trembling: Sickness Unto Death” (ketakutan dan kegentaran: penderitaan sampai tibanya hari kematian).

Secara garis besar, dalam tulisannya, Kierkegaard menyampaikan bahwa iman tidak pernah bisa dimaksimalkan dalam keadaan hati yang takut dan gelisah.  Rasa takut dan gelisah mengganggu hidup seseorang sehingga tidak bekerja secara optimal sehingga mengegser perhatian dari seorang dari tujuan utama hidupnya (iman) kepada bayangan ketakuan dan kegelisahan yang ia bangun sendiri [3].

“Sebagai contoh, semisal seorang anak yang ikut ujian dan merasa takut maka sang anak tidak akan benar-benar berkonsentrasi pada soal yang ada di depan mata melainkan pada rasa takutnya. Sang anak akan lebih sibuk mengurusi rasa takutnya, menggunakan berbagai cara agar ia tidak takut. Anak tersebut tentu tidak akan mendapatkan hasil maksimal bahkan kemungkinan besar akan bisa gagal dalam ujian itu.”

Bertolak dari pemahaman Kierkegaard, hidup yang dijalani dalam fear and trembling persis seperti sang anak yang takut dalam penggalan kisah di atas. Dalam konteks hidup beriman, ketakutan dan kegentaran mengakibatkan orang beriman yang takut tidak hidup dalam perintah Tuhan melainkan hidup mengurusi rasa takut dalam dirinya. Akhirnya hidup orang beriman tidak akan berkembang dan bertumbuh dalam Kristus melainkan semakin dekat dengan tindakan-tindakan duniawi.

Iman hadir sebagai keyakinan yang mengalahkan rasa takut dan gentar. Orang beriman berjalan dalam keyakinan sebab bagi Tuhan tak ada yang mustahil. Berjalan dalam iman, tentu bukan iman yang buta, membuat hidup orang percaya tetap berada dalam apa yang Tuhan kehendaki. Berjalan dengan iman dalam dunia yang penuh dengan penderitaan ini sampai menuju akhir hadir hidup orang percaya (sickness unto death).

Orang yang penakut dan hidup jauh dari Kristus dapat kita lihat pada sosok-sosok orang Kristen yang suka hidup dalam (istilah saya) mentalitas duniawi seperti contohnya mentalitas cari aman, egois, penjilat dan semacamnya. Orang-orang bermental (way of thingking) duniawi tentu saja jauh dari mentalitas Kristus yang penuh dengan kasih. Mereka adalah orang yang hidup tidak memberi diri bagi orang lain melainkan hidup untuk mencari untung sendiri

Sebagai contoh, mentalitas duniawi ini bisa kita temukan di saat ajang-ajang kontestasi politik pemilihan baik kepala daerah atau dalam ajang-ajang tertentu lomba atau kontes tertentu. Orang bermental egois akan menggunakan cara-cara curang seperti lobi politik, main uang dan berbagai cara asal mereka menang. Mereka biasanya muncul dengan janji-janji palsu.

Tentu itu semua hanyalah cara palsu untuk menutupi kebohongan mereka serta menutupi sikap cemas dan takut kalah. Tentu kita ketahui bersama politik yang penuh KKN selalu tidak dilakukan atas dasar kesejahteraan hidup bersama. Yang mereka cari adalah keuntungan sepihak. Pada titik ini, orang-orang mentalitas duniawi hanya menjadi benalu dan penghambat dari kemajuan orang-orang beriman dan bermental kasih yang maju dengan cara jujur dan tidak egois.

Orang-orang yang suka cari aman alias egois dalam istilah Kierkegaard adalah orang-orang yang tidak seperti orang percaya alias orang beriman melainkan orang bertindak ceroboh dengan didasarkan kepada ketakutan dan kegentaran dalam diri mereka. Ketakukan dan kegentaran kemudian menutupi mata hati mereka. Lebih para lagi, ketakutan dan kegentaran itu ikut menutupi iman sehingga mereka pun hidup menjauh dari apa yang Kristus kehendaki yaitu hidup penuh kasih bagi diri dan sesama.

Kembali pada pokok Yohanes 14:15-21 (dan 14:1-15). Yesus tentu menyadari akan hadirnya ketakutan dan kegentara dalam hadi murid-Nya. Yesus tahu bahwa ketakutan dan kegentaran dalam hati murid-muridnya berpotensi besar untuk berubah menjadi murid dalam mentalitas duniawi dan tidak lagi hidup dalam mentalitas Kristus (mental kasih). Karena Yesus tidak ingin agar nanti muridNya bermental duniawi, Yesus menegur mereka agar tetap percaya dan Yesus memberitahu bahwa Yesus tidak pernah meninggalkan mereka. Ia akan hadir kembali dalam rupa Roh Kudus dan benar Yesus memenuhi janji itu.

Kita bisa membaca pemenuhan janji itu dalam Kisah Para Rasul 1 dimana Roh Kudus turun dan memenuhi diri para murid di Yerusalem.Para murid akhirnya Yesus tetap hidup dalam mental Kristus. Contoh paling nyata bisa kita lihat dalam sosok Petrus yang dengan berani dan gagah memperkuat keyakinan pengikut Kritus lewat orasinya yang fenomenalnya di bukit (Kisah Para Rasul 2).

Relevansi

Di saat ini, kita berhadapan dengan berbagai macam mental duniawi yang hadir di hadapan kita seperti kecurangan, penipuan, dan berbagai macam bentuk keegoisan yang muncul karena tidak ada kasih dalam hati orang-orang tersebut. Tanpa sadar, mentalitas duniawi yang mereka lahirkan secara sadar maupun merugikan orang lain.

Sikap mental duniawi seperti itu tentu ditentang oleh Yesus. Hidup sebagai orang Kristen adalah jalan penuh belas kasih dalam dunia yang penuh tantangan. Hidup dalam perintah Kristus adalah hidup yang jauh dari rupa-rupa dosa yang hadir akibat rasa takut dan gentar. Dengan kata lain, hidup dalam Kasih untuk mengalahkan rasa takut. Kasih hadir untuk mengalahkan rasa takut agar kita terus hidup dalam orientasi hidup yang Kritus teladankan kepada kita.

Di samping itu, Yesus mengingatkan bahwa kita tidak pernah berjalan sendirian. Yesus tidak memerintah dan pergi meninggalkan kita seperti tuan kepada hambanya. Di sinilah letak keunikan Yesus. Yesus tetap besama kita. Yesus hadir sebagai sahabat yang berjalan bersama kita. Yesus ikut menanggung beban kita dan melepaskan kita. Kita tidak sendiri. Ia hadir bersama dan dalam rupa Roh kudus. Sang pengganti yang ada dalam diri kita untuk menuntun kita tetap berjalan di dalam hari-hari hidup kita yang penuh dengan misteri sampai maut datang menghampiri kita.

Pertanyaan Refleksi

Di masa pandemi Covid-19 ini, bagaimana cara agar bisa bisa hidup bermental Kristus dan bagaimana cara melakukan itu?

 [1]. BAHAN PERCIK (PErcakapan seputaR Corona dan Iman Kristen) SMAK 5 PENABUR JAKARTA. Bahan ini dirancang oleh Jear Nenohai S.Si.Teol

 [2]. FYI, Dalam Alkitab Perjanjian Baru berbahasa asli yaitu bahasa Yunani (greek new testament) sebenarnya tidak ada pembagian topik ayat-per ayat seperti contohnya pada Yohanes 14:1-15 yang bertemakan “Rumah Bapa” dan Yohanes 14:15-21 yang diberi tema “Yesus Menjanjikan Penghibur”, melainkan setiap pasal hadir secara utuh begitu saja. Pembagian topik yang dilakukan oleh Lembaga Alkitab Indonesia hanyalah sebuah cara untuk mempermudah pembaca Indonesia untuk memahami ide-ide pokok yang terkandung dalam sebuah pasal. Maka tentu saja sebuah pasal harus selalu dibaca secara utuh untuk mendapatkan maksud yang ingin disampaikan dalam sebuah pasal itu sendiri.

[3].  Soren Aabey Kierkegaard, Fear and Trembing: Sickness Unto Death (Pricenton-New Jersey: Pricenton University Press, 2013) 206.

Menalar “tuhan” menurut Franz Magnis-Suseno

Jear bersama Romo Franz Magnis-Suseno di STF Driyarkara pada tahun 2014.

Oleh; Jear Nenohai

Bertepatan dengan hari buku (17 Mei 2020), saya membagikan isi sebuah buku yang menurut saya paling menarik dan berpengaruh bagi diri saya yakni buku Franz Magnis Suseno, menalar tuhan (Jogjakarta: Kanisius, 2006).

Menurut saya buku ini adalah buku yang sulit untuk dipahami. Romo Simon Lili Thahjadi pernah berkata “saya tidak mengerti apa yang ingin disampaikan Magnis dari buku itu.” Kendati demikian, menurut saya anda akan sangat rugi bila tidak membaca dan mencerna isi buku “menalar tuhan” sebaik mungkin.

Bila anda merasa penting untuk memahami makna tuhan dan kerangka berpikir manusia akan ketuhanan maka bacalah buku ini namun apabila anda tidak tertarik dengan isu seputar ketuhanan, maka anda boleh tidak membacanya.

Tema yang diangkat dalam buku ini sungguh beragam, Romo Magnis memberi perhatian pada keingintahuan akan tuhan dan bagaimana tuhan itu dibangun dan dipercayai. Juga dalam buku ini, kita bisa bertemu tema mengenai filsafat ketuhanan, sejarah agama, theisme dan atheisme, tuhan dan alam, tuhan dan etika, sampai pada persoalan keberadaan tuhan di hadapan kejahatan.

Magniz memberi penekanan bahwa tantangan yang dijawab buku menalar tuhan adalah “bagaimana agar kita dapat memberikan pendasaran rasional yang bertanggungjawab akan keberadaan tuhan agar tuhan tidak dipercayai dan diteladani secara asal-asalan (hal 17-19).”

Magniz mempercayai bahwa tuhan amatlah rasional untuk dipercayai lagi diimani. Terkait rasionalitas, dalam “menalar tuhan,” Magnis menganalisa bagaimana tuhan itu sendiri dibangun dalam konsepsi agama-agama dunia seperti agama-agama abarahamistik (kristen, islam, yahudi), budha, hindu, dan konghucu. Secara garis besar, dinamika kepercayaan akan tuhan didasarkan pada kehadiran tuhan dalam kehidupan umatnya. Pada agama Abrahamistik, Tuhan dipercayai melaui cara atau wahyu tuhan pada umat beragama. Tuhan berbicara melalui perantaranya (nabi) dan kitab suci. Wahyu adalah sumber iman dan cara manusia memahami tuhan.

Secara khusus budha, hindu, dan konghucu bergerak dari ranah selain wahyu. 3 agama tadi memercayai tuhan melalui personafikasi ciptaannya misalnya pada alam. Jadi dalam tubuh alam terdapat kehadiran tuhan yang dipercayai dan dibangun dalam konsepsi dewa-dewi. Pada pokoknya, tuhan dalam agama-agama seperti yang disebutkan tadi adalah sosok transenden yang menghampiri manusia dan memberikan panduan kehidupan kemanusiaan dan ciptaan yang dicintainya.

Pembahasan mengenai tuhan tidak hanya datang dari kubu kelompok beragama. Magnis juga membahas pemahaman tuhan dalam proyek penceharan, modernitas eropa, dan paham yang dibangun sesudahnya. Dalam kepercayaan paham pencerahan, terkhususnya pencerahan eropa, tuhan tidak lagi dikaji melalui ajaran agama tertentu melainkan oleh proyek akal budi manusia. Melalui akal budi, tuhan dimaknai dan dibahasakan secara baru. Di sini, tuhan pun muncul dalam beragam istilah (konsepsi) seperti monoteisme, deisme, politeisme, ateisme, dan lain sebagainya. Sosok tuhan bersifat transenden tetapi sekaligus imanen. Artinya tuhan tidak dapat dipahami dan bebas dimaknai. Maka dari itu tuhan muncul dalam pemahaman dan menjadi sumber moral seperti pada proyek suara hati Imanuel Kant dan etika Levinas.

Karya modernitas bisa dikatakan sebagai asal mula proyek pemahaman tuhan dipakai dan diperluas pada beragam konteks. Tuhan dibuat sedemikian rupa agar masuk akal dan tidak masuk akal. Tuhan bukan lagi sebuah kenyataan selain manusia melainkan murni pekerjaan manusia. Di sini, para pemikir pun memakai pisau bedah filsafat untuk mengkaji pemahaman tuhan secara sistematis dan argumentatif. Karena tuhan adalah karya manusia, maka munculah sebuah pemahaman penolakan akan tuhan secara filosofis yang begitu terkenal yakni ateisme. Pemikir yang menghiasi khasanah atheisme itu seperti Feurbach, Sartre, Comte, Freud dan lain sebagainya.

Kendati demikian, proyek modernitas yang banyak merujuk Kant sebenanrya membuka jalan bagi otonomi tuhan bukan satu-satunya jalan utama bahwa pemaknaan tuhan itu begitu luas dan kaya. Mendasarkan pemikiran pada paham para pemikir komunitarianisme (seperti Charles Taylor, Walzer, McIyntre, Sande) Magniz bersepakat bahwa manusia yang rasional tidak pernah lebas dari zona ruan dan waktu yang mengitarinya. Maka keberagaman pembahasan menjadi mungkin dan tetap rasional. Tuhan yang esa tidak bisa dimakna-tunggalkan melainkan mesti dipahami lewat pembacaan makna-makna tuhan yang luas seluas warna konteks dimana konsepsi tuhan itu ditelurkan.

Lebih lanjut, buku menalar tuhan memberikan kita informasi bahwasanya kepelbagaian pembahasan mengenai tuhan adalah konsekuensi lebih lanjut dari pencarian akalbudi, filososif, tradisionalis, maupun teologis mengenai tuhan. Sebagai seorang filsuf, magnis melihat bahwa pembahasan tuhan dengan menggunakan bangunan logika mengakibatkan tuhan banyak dimaknai bahkan dibuktikan secara filosofis. Akan tetapi, bagi Magniz, tuhan sejatinya tidak bisa dikengkang dalam roh akal budi manusia secara filosofis. Dan menurut saya di siniah letak keanehan sekaligus keindahan buku ini. Magnis menulis, “filsafat mencoba menjelaskan tuhan dan gagal (hal 225).”

Kegagalan filsafat itu bagi Magniz adalah dampak dari batas rasional ciptaan (hal 234-235). Dalam pemahaman Magniz, keterbatasan kemanusiaan itu adalah keterbatasan yang menunjukan kenyataan manusia sebagai ciptaan. Tuhan sebagai pencipta hanya bisa dipahami dan dijangkau sejauh keberdayaan manusia yang dianugerahi Tuhan (215-216). Uniknya, di sini Magniz tidak bermaksud bahwa iman kemudian memperbudak filsafat melainkan filsafat hadir untuk memperkokoh rasionalitas manusia dalam mempertajam imannya. Iman yang tidak dilandaskan kembali kepada kemampuan asali manusia (rasional) hanya membuat seorang beriman menjalankan ajarannya secara membabi buta. Dalam istilah Romo Adrianus Sunarko, orang sebenarnya sedang berteologi sambil berfilsafat tanpa sadar (A. Sunarko, Teologi Fundamental, Penerbit Ledalero; 2013). 

Menurut saya pribadi, di sini jelas kita melihat bentuk kualitas pandangan akademis dan rohani Magnis terkait tuhan. Tentu Magnis tidak sedang membangun konsepsi tuhan tertentu melainkan dia berbicara sebagai bagian dari ciptaan tuhan itu sendiri. Bahwa tuhan itu ada dan mesti diimani secara mendalam lewat bantuan filsafat.

Pokok utama yang bisa kita ambil dan pelajari dari buku ini adalah tuhan merupakan kenyataan yang bebas makna dan harus dibicarakan oleh manusia secara bebas dan bertanggungjawab. Saya menduga bahwa Magniz ingin memberikan penekanan utama, melalui buku ini, bahwa tuhan bukan hal yang tabu, dibicarakan, apalagi dikritik. Tuhan adalah bagian dari kenyataan hidup manusia dan memberikan pemaknaan kepada manusia. Pemaknaan itu mesti dibicarakan dalam bahasa yang iman yang rasional agar manusia menemukan makna terdalam dari tuhan yang diimani.

Oleh sebab itu, dengan kembali kepada tujuan awal buku ini, tuhan harus dimaknai secara rasional dan bertanggungjawab. Tentu dua kata utama itu merujuk pada pemaknaan yang manusiawi. Rasional dilandaskan pada penjelasan tentang tuhan adalah upaya yang yang masuk akal meski harus gagal dan pembahasan itu harus selalu elegan serta sopan alias bertanggungjawab. Magniz sendiri mengatakan “tetapi orang beriman yang berani mengikuti pertimbangan-pertimbangan itu, justru dapat diantar ke iman (hal 234). Bahwa pemaknaan mengenai tuhan harus terus dibicarakan manusia sambil tetap membuka diri dari segala keterbatasan manusawi yang hadir sebagai dari bukti bahwasaya manusia hanyalah mahluk ciptaan biasa.

Oleh karena itu, penjelasan panjang di atas adalah alasan mengapa saya pribadi sangat terpengaruh kuat oleh buku ini. Di samping itu, saya bersepakat dengan Magniz bahwa tuhan itu memang ada sekaligus tuhan adalah realitas yang luas. Corak ketuhanan tidak oleh dipahami dan dimaknai secara sempit hanya pada satu ajaran agama dan paham filisofis saja. Bahasa kemanusiaan selalu akan bisa gagal sehingga pemaknaan iman kita tidak boleh kaku dan staknan. Maka perluasan percakapan mengenai tuhan yang bertanggungjawab membawa kita pada tindakan memperkaya iman kita sendiri.

Keluasan pemaknaan tuhan sejatinya bukan masalah utama bagi iman ajaran manapun. Keluasan dan keleluasaan makna tuhan justru merupakaan kenyatan yang menegaskan kemahakuasaan Tuhan sekaligus keterbatasan kita. Tentu ini bukanlah masalah bagi kita umat beriman. Justru dengan berangkat dari keterbatasan kita, kita justru sedang tetap hidup sebagai manusia yang masih bisa mempercayai Tuhan. Bukankah dengan demikian, kita tidak sedang merugi dan lebih banyak untung dalam hidup beriman? Oleh sebab itu, kita masih tetap mampu memegang keyakinan kita sambil beriman dan percaya pada Tuhan.

Meminjam istilah teman saya Nathan Blegur, kita tetap membiarkan tuhan menjadi tuhan dan manusia menjadi manusia tanpa harus kehilangan iman kita.

Belajar dari Tangan Kiri

Oleh: Jear Nenohai

Ceritanya tulang-tulang tangan kiri saya pernah patah sebanyak 2 kali. Letak  patahan itu tepat berada pada 2 titik kuning yang saya letakan pada gambar.

Patah tulang pertama saya alami saat saya kelas 2 SMP tahun 2008. Insiden itu terjadi saat saya bermain bola di lapangan Sekolah Menengah Pertama di dekat rumah saya.

Patah tulang kedua saya alami tahun 2010. Insiden itu terjadi tepat seminggu sebelum saya masuk kelas 1 SMA. Tulang saya patah akibat kecelakaan tunggal saat saya menunggangi motor Yamaha RX King Special Type milik ayah saya.

Sialnya, letak tulang yang patah pada insiden kedua sama persis dengan letak tulang insiden pertama. Kemungkinan besar tulang itu tidak melekat kembali secara sempurna saat proses penyembuhan pada insiden yang pertama.

Meski tulang saya sudah sembuh total. Terkadang saya masih merasakan adanya efek samping dari insiden-insiden patah tulang itu. Kata orang insiden patah tulang memang selalu ada efek samping. Tapi efek itu bukan sesuatu yang menyenangkan untuk dijalani.

Efeknya membuat tangan kiri saya selalu tidak bisa bekerja secara maksimal. Tangan kiri saya selalu lebih cepat merasa lelah dan ngilu apabila saya melakukan pekerjaan yang berat-berat.

Contohnya seperti berkendara motor.

Suatu waktu saya berkendara dari  Salatiga ke Solo yang memakan waktu kira-kira  1 jam. Saraf-saraf tangan kiri saya langsung lemas. Terkadang ada efek nyeri sedikit dan hilang seketika. Butuh semalaman untuk rasa nyeri dan ngilu itu hilang. Lebih cepat sembuh apabila saya tidur agar tidak melakukan aktifitas apa-apa dengan tangan saya.

Saya menduga bahwa saya tidak bisa bermain gitar karena efek patah tulang itu. Dugaan saya makin menguat ketika tiap kali saya menekan senar agar rapat dan mudah dibunyi-nyaringkan, jari-jari tangan kiri saya mengeras. Saat saya berhasil  menekan dengan keras dan membuat suara gitar menjadi nyaring, jari saya menjadi kaku. Akibatnya saya tidak bisa menahan senar terlalu lama  bahkan untuk 10-15 detik saja.

Pernah saya  memaksakan jari saya, serentak syaraf tangan pada bagian siku saya melemas dan ngilu. Ini tentu tanda buruk sebab saya selalu bisa ingin bermain gitar padahal kemampuan bermain gitar adalah cita-cita saja sejak lama. Akhirnya saya memutuskan beralih ke bidang seni lain yang tak harus memaksakan tangan kiri saya seperti menyanyi.

Jujur terkadang rasa lemas dan ngilu ini tidak menyenangkan. Saya tidak punya kesempatan memaksakan pekerjan berat yang lama pada tangan kiri saya. Meski begitu saya sering memaksakan tangan kiri saya walau harus lemas dan ngilu agar saya bisa terus melakukan pekerjaan yang berat-berat.

Tulisan ini saya buat bukan untuk membeli rasa kasihan apalagi perhatian.

Pada minggu kedua bulan Agustus nanti, saya akan merayakan hari patah tulang saya. Saya merayakan perdamaian saya dengan rasa ngilu dan lemas yang selalu saya tahan sampai detik ini. Saya sudah berdamai dengan kekurangan (mungkin disabilitas) tubuh yang saya miliki.

Dari pengalaman dengan tangan kiri saya, saya belajar bahwa kekurangan tubuh itu tidak perlu ditolak apalagi dianggap tidak ada. Kekurangan itu perlu diterima dan diberikan tempat yang tepat dengan cara diakui keberadaannya.

Rasa sakit yang sering muncul membawa saya pada pola kebiasaan baru yaitu menyanyi dan menulis. Saya belajar untuk memilih aktifitas keseharian yang cocok dengan saya sebagaimana adanya.

Mempunyai kekurangan tubuh sejatinya bukan sebuah hambatan. Kekurangan adalah kenyataan kita yang memaksa kita untuk memilih jalan yang berbeda dalam hidup kita yang pada dasarnya selalu dilakukan orang lain dimana dan kapan pun.

Toh, pada dasarnya kita semua selalu punya cara yang berbeda untuk melakukan apa yang kita kehendaki. Keberbedaan pun bukan menjadi sebuah keanehan melainkan selalu adalah sebuah kenyataan.

Oleh sebab itu, saya belajar menerima kenyataan yang berbeda dari tangan kiri saya. Saya belajar melihat kenyataan hidup yang lebih luas. Belajar menilai kesakitan dan keanehan sebagai bagian-bagian kehidupan yang nyata dan tak terelakan.

Saya belajar bahwa penerimaan yang tepat pada pengalaman buruk yang kita alami seperti cara saya menerima efek tangan saya selalu mengantarkan kita pada jalan-jalan baru untuk terus menikmati hidup.

Allah Realita

Oleh: Jear Nenohai

sumber: http://www.okeeshreiff.org

Mazmur 18:1-4

Mazmur 18:2–”TUHAN adalah bukit batuku, benteng pertahananku, dan penyelamatku. Allahku, gunung batuku, di dalam Dia aku mencari perlindungan; perisaiku, tanduk keselamatanku, tempat perlindunganku yang tinggi–.”

Hidup orang Kristen selalu dipenuhi dengan kata Allah. Allah muncul dalam bahasa pengakuan akan kehadiran suatu sosok yang maha tinggi dan ilahi. Allah dalam Alkitab diakui sebagai pencipta bumi dan langit yang juga menciptakan manusia. Allah orang Kristen adalah Allah pemelihara dan penyayang.

Allah juga dipahami lewat beragam cara dan makna. Oleh pemazmur Daud dalam Mazmur 18, Allah disebut sebagai gunung batu dan benteng pertahanan dan seterusnya. Artinya Allah, dalam gambaran Daud, adalah pelindung umat-Nya dari ragam bahaya.

Di masa modern, Allah dalam gambaran Choan Seng Song, seorang pemikir Kristen berkenegaraan Korea Selatan, adalah Allah yang tertindas dan terluka bersama orang-orang Korea di masa perang. Allah hadir dalam sosok orang Korea yang turut berjuang melawan penindasan sebagai wujud iman mereka (Choan Seng Song, Allah yang Turut Menderita, BPK Gunung Mulia; 2018).

Penggambaran akan wajah Allah juga disuarakan oleh berbagai pemikir Kristen di Asia yang melawan wajah gambar Allah khas orang barat. Mereka menentang  penggambaran wajah Allah yang dimonopoli orang barat dimana Allah selalu digambarkan sebagai sosok yang putih tinggi dan berambut lurus melulu.

Bagi kebanyakan orang Asia, atau khusus dalam hal ini sosok Yesus, Allah juga hadir dalam beragam rupa seperti Yesus yang berkulit hitam dan berambut keriting, berkulit kuning langsat (Asia Selatan termasuk Indonesia) atau kuning cerah (daratan Asia Timur). Sosok Yesus hadir juga hadir dalam bentuk ilah seperti dewa-dewi pelindung yang hadir dalam kebudayaan mereka (Sugiartarajah, Wajah-Wajah Yesus di Asia, BPK Gunung Mulia; 2007, cet. Ke 4).

Secara keseluruhan, semua yang dikatakan oleh pemikir Kristen di atas mau menegaskan bahwa sosok Allah tidak pernah muncul dalam satu rupa. Allah itu kekal dan tak berubah tetapi ia selalu dapat hadir bagi setiap umat-Nya dengan sosok yang tidak pernah sama. Allah hadir untuk hidup bersama umat-Nya. Ia hadir untuk memberikan kekuatan dan ikut menderita bersama umatNya.

Ragam perbincangan mengenai Allah, menurut Sally McFague seorang pemikir Kristen perempuan adalah cara manusia memahami dan membahasakan sosok Allah dalam kehidupan mereka (Sally McFague, Methaporical Theology: Models Of God In Religious Language; Fortpress Press, 1987). Kesadaran akan kehadiran Allah yang nyata itu membuat umatnya melahirkan beragam metafora mengenai Allah dalam kesadaran bahwa Allah itu sungguh nyata (kongkrit) sekaligus sebuah misteri yang tak terpahami dan tak bisa dibatasi.

Allah adalah sang misteri yang datang dalam mengambil wujud kongkrit yang bisa dijangkau manusia dalam segala keberadaan konteksnya. Sosok Allah yang misteri sekaligus ilahi mengambil bentuk konkrit dan hadir bersama dengan kita sebagai wujud nyata kasih-Nya. Oleh karena itu, orang percaya kerap menyebut bahwa Allah itu datang dalam sosok terdekat mereka sepeti seorang ibu, ayah, sahabat, guru dan bahkan wujud non-manusia seperti batu, air, tanah dalam kepercayaan orang Kristen di Papua.

Dalam percakapan (via zoom) dengan seorang penyintas Covid-19 asal GKI Sunter, Pdt. Jedi Liline, beliau menyebut sosok Allah yang hadir bersama dalam masa penyembuhannya dengan sebutan Allah realita. Allah realita dalam pengalaman imannya adalah sosok para perawat yang begitu setia merawatnya dan sosok istrinya yang senantiasa hadir menolong penyembuhannya dan tetap berpikir positif bersama Pdt. Jedi. Bagi Pdt. Jedi, saat bangunan stigma negatif begitu kuat menghantam dirinya yang adalah seorang pelayan Tuhan. Allah selalu hadir dalam realita penyakit yang menimpa tubuhnya. Allah itu selalu dekat dengannya dan menolongnya dalam berbagai bentuk.

Di masa Covid-19 ini, kita mungkin bertanya akan dimanakah Allah kita bagi umat manusia yang sedang dilanda ketakutan dan kekhawatiran yang begitu besar. Kendati demikian, bagi saya dan semua orang Kristen yang saya bawa serta dalam tulisan ini, Allah tidak pernah meninggalkan kita. Allah turut bekerja dalam realita kita. Ia tidak pergi. Ia hadir bersama kita dalam beragam rupa. Yang kita perlukan adalah ketenangan hati untuk merasakan kehadiran Allah yang datang dalam ragam bentuk perhatian dan kasih. Segala kehadiran ALlah itu mesti kita sambut dengan hati yang penuh ucapan syukur dan iman yang tak pernah lentur.

Allah adalah realita yang dekat dengan kita. Ia hadir dan dimetaforakan dalam bentuk apa saja seperti kasih seorang Ibu (metafora saya), warna pelangi (metafora anak sekolah minggu), dan fajar pagi hari (metafora Nikita).

Menanti Sambil Meratap

Oleh: Jear Nenohai

sumber: http://www.wordonfire.org

Ratapan 3:1-24
“TUHAN adalah bagianku,” kata jiwaku, Oleh sebab itu aku berharap kepada-Nya. Ratapan 3:24

Dalam masa pandemi Corona ini, banyak pihak yang berjuang untuk memberikan jalan keluar atas masalah ini. Mulai dari manusia super kaya seperti Bill Gates yang membiayai penelitian vaksin Corona sampai dengan para pengamen jalanan yang rela berbagi hasil ngamen mereka dalam bentuk makanan untuk para orang jalanan yang tidak punya tempat tinggal dan makanan.

Orang-orang beragama, terkhususnya Kristen, pun juga tidak tinggal diam menawarkan solusi mereka. Di media facebook saya, entah sudah berapa banyak saya melihat para pendeta/pemimpin jemaat baik dari dalam dan luar negeri yang mengadakan kebaktian penguatan bahkan pengobatan Corona. Beragam tanggapan pun muncul mengenai kebenaran dari aksi pemulihan Corona yang mereka selenggarakan. Teman-teman saya yang Pendeta menanyakan soal kebenaran soal landasan iman Kristen yang mereka gunakan. Saya pun enggan menggubris hal itu. Bukan persoalan saya tidak setuju atau tidak. Ini hanya soal selera saja. Saya pribadi tidak terlalu tertarik dengan penyelenggaran kebaktian seperti itu.

Dari sekian banyak pendapat para pemikir Kristen yang saya ikut, salah satu pendapat yang paling mengejutkan dan, sesungguhnya meneduhkan, datang dari seorang pakar biblika (Kitab Perjanjian Lama dan Baru) saat ini, N. T. Wright yang ia utarakan dalam artikelnya “Christianity Offers No Answers About the Coronavirus. It’s Not Supposed To” (https://time.com/5808495/coronavirus-christianity/).

Dalam artikelnya itu, N. T. Wright dengan sangat tegas menawarkan bahwa ajaran Kristen tidak punya kontribusi apa-apa saat ini untuk menawar virus Corona. N. T. Wright mengajak para pembacanya untuk kembali pada sebuah spiritualitas kuno Israel Kuno yang disebut “Ratapan.” tidak hal lain yang bisa kita lakukan saat ini selain daripada meratapi keadan ini. Meratapi pandemi Corona yang kian lama kian menyebar. Meratapi bencana yang seperti jalan tak berujung ini.

Ratapan, dalam tradisi Israel Kuno, adalah sebuah sikap hati orang Israel saat hidup mereka menghadapi sebuah kenyataan pahit yang tak terkatakan dan tak tertahanakan. Konon katanya sebagian dari mereka ada yang mengatai dan mengumpat Tuhan. Menyalahkan Tuhan atas keadaan yang mereka rasakan. Sebagiannya bersikap lebih positif dengan mengakui kesalahan dan keberdosaan mereka sendiri.

Saat meratap, orang Israel biasanya akan berlutut dan menengadahkan kepala mereka ke langit. Ke arah sang Pencipta. Mereka akan mencabik-cabik pakaian mereka sambil merengek akan  kepatihan mereka di hadapan Tuhan dan kemudian menaruh abu di atas dahi mereka sambil terdiam sebagai bentuk berkabung seperti yang dilakukan Ayub saat malapetaka menimpa dirinya (Ayub 2:1-13).

Abu dipakai di sini sebagai sebuah simbol asal mula manusia. Abu menandai sebuah pengakuan bahwa manusia hanyalah abu dan tanah di hadapan Allah yang perkasa. Allah yang menciptakan manusia dari debu dan tanah.

Spiritualitas Ratapan (spirituality of lamentation), bagi N T Wright, adalah sebuah sikap yang perlu kita bangun saat ini. Ratapan bukanlah sebuah sikap dari kelemahan iman melainkan untaian doa yang kita panjatkan sebagai bentuk pengakuan akan keterbatasan kemanusiaan kita di hadpaan sang ilahi. Ratapan mengingatkan kita bahwa bangunan ajaran kristen yang sejatinya dibangun di atas dasar kemanusiaan suatu waktu bisa sia-sia. Segala upaya kita punya batasan.

Di saat keterbatasan itu kita sadari, kita meratap (berdoa) dengan sungguh seperti yang diratapi bersama oleh Yeremia (penulis kitab Ratapan) dan umat Israel di kala mereka harus melihat kerajaan yang mereka rindukan selama ratusan tahun runtuh tak tersisa.

Dalam meratap, hanya tertinggal satu hal yang ada pada kita yakni “harapan” akan kebaikan hati Tuhan. Saat meratap, kita mengingat akan Tuhan. Kita tak sendiri, Tuhan selalu tahu beban kita bahkan Ia ikut meratap bersama kita seperti saat Tuhan meratapi akan keberdosaan Isrel di hadapan-Nya. Di dalam Ratapan kita sedang membangun harapan kepada pencipta kita yang melahirkan kita dari debu dan tanah. Kita kembali berharap kepada Tuhan. Inilah jalan spiritualitas pengharapan di dalam ratapan.

Sampai di sini, saya berpandangan dasar Alkitabiah yang ditawarkan N. T. Wright adalah jalan yang perlu kita tempuh saat ini. Saat kebiasaan kita hilang. Saat kita semua tak berkutik di hadapan pandemi yang menakutkan, kita kembali datang dan berharap pada-Nya. Menanti dengan meratap dan hati yang terus berharap.

Dunia dalam Pelukan Kesederhanaan

oleh: Jear Nenohai

sumber: suara.com

Yuval Noah Harari, penulis buku-buku sejarah paling tersohor saat ini “Homo Sapiens,” “Homo Deus,” dan “21 Pelajaran untuk Abad ke-21”, akhirnya angkat bicara mengenai isu corona. Melalui artikelnya The World After Coronavirus (Financial Times, 20 Maret 2020), Harari mengatakan bahwa corona adalah salah satu bencana terbesar yang pernah dihadapi umat manusia sepanjang sejarah (1). Bencana ini tidak hanya akan mengubah wajah dunia kesehatan kita secara bersar-besaran melainkan juga akan menjangkiti dunia perekonomian, politik dan juga kebudayaan global.  

Kendati demikian, menurut Harari badai ini akan berlalu. Dengan tegas ia mengatakan Yes, the storm will pass, humankind will survive, most of us will still be alive — but we will inhabit a different world. Sebagai seorang sejarawan, Harari menilai bahwa kita sudah pernah melewati yang hampir sama parahnya dengan Corona seperti Ebola, SARS, MERS, dan yang lebih parah lagi; black death (maut hitam) di Eropa pada abad 13.

Untuk menuntaskan Corona ini, Harari menawarkan 4 jalan keluar terbaik antara lain pengawasan totaliter dan pemberdayaan warga. Yang kedua adalah antara isolasi nasionalis seperti yang dilakukan China dan Israel serta yang paling utama solidaritas global. Bencana ini tidak bisa diselesaikan secara sepihak melainkan menuntut kesadaran universal untuk mendorong kerjasama warga dunia.

Salah satu fakta penting yang tak bisa dipungkiri dari wabah Corona ini adalah fakta bahwa kesehatan adalah sebuah hal yang sangat privasi sekaligus sangat publik. Bagaimana tidak, hanya dengan satu bersin di Wuhan bisa menciptakan ribuan bahkan jutaan bersin yang membawa maut di seantero dunia.

Secara sistematis, wabah Corona ini telah menambahkan satu pekerjaan baru pada tingkat keamanan dunia (world surveillance sytem) untuk melaksanakan sebuah pengawasan super ketat pada perilaku mencuci tangan (soap police). Padahal di abad-abad sebelumnya, kebiasaan mencuci tangan menjadi hal yang paling sederhana sekaligus disepelekan dalam dunia kesehatan. Balita berumur 4 tahun dan orang tua berumur 100 tahun pun tahun bagaimana harus melakukan hal itu. Namun di masa pandemi ini, mencuci tangan maju menjadi penawar utama agar kita bisa menyelamatkan nyawa jutaan manusia di planet ini. Dengan menaati soap police system, kita bisa ikut menyelamatkan perubahan dunia dari kehancuran ekonomi, politik, dan solidaritas global.

Soap police system menyadarkan kembali diri kita bahwa kita memiliki peran penting bagi kehadiran orang lain di sekitar kita bahkan yang berada di belahan dunia lain yang tidak pernah kita pijaki. Kita kembali pada kesadaran manusia sebagai warga dunia (kosmopolitan).

Pesan untuk tinggal dalam kehidupan sederhana juga ditekankan Paulus kepada jemaat di Roma. Bila kita membaca lengkap Roma pasal 12 , kita akan melihat sebuah untaian hikmat untuk hidup bersama yang sepikir dan sehati menuju kemaslahatan hidup bersama. Kesederhanaan pun menjadi faktor pembeda antara masyarakat Kristen Roma dari pola hidup masyarakat Roma yang royal dan boros yang secara tekun meneladani pemerintahan Roma yang korup.

Sebagai penutup, Rasul Paulus dan Harari mengetuk pintu batin kita semua untuk harus hidup dalam keserhanaan. Kesederhanaan melahirkan sikap saling menghagai satu sama lain serta ikut menjamin keberlanjutan hidup umat manusia. Dengan kata lain, dalam konteks Corona saat ini, kesederhanaan melahirkan solidaritas global. Menuju dunia yang kembali dibentuk oleh kesadaran umat manusia untuk hidup saling menjaga dan melindungi satu sama lain; dunia sesudah corona.

Marilah menjadi sederhana dan hidup untuk kembali melakukan apa yang kita anggap sepele. Karena jangan-jangan bencana kehidupan kita justru kerap kali datang dari berbagai kebiasaan kita menyepelekan arti dari kesederhanaan.

(1) Yuval Noah Harari, The World After Coronavirus, https://www.ft.com/content/19d90308-6858-11ea-a3c9-1fe6fedcca75 diakses pada tanggal 21 April 2020.

Paskah

Oleh: Jear Nenohai

sumber: fordham news

Paskah tahun 2020 ditetapkan sebagai Paskah yang paling membosankan sebab tahun ini adalah paskah tanpa obor, tanpa pawai, tanpa salam-salaman dengan tetangga dan lain sebagainya. Itulah kesimpulan sementara dari survei tanggapan paskah yang saya lakukan di akun-akun medial sosial saya.

Arti paskah seakan menjadi kurang bermakna bagi mereka yang begitu mencintai religious ceremony atau mereka yang melihat agama sebagai sebuah perayaan yang meriah dan megah. Kendati demikian, tidak semuanya menyetujui hal itu. Maklum saja, orang punya cara masing-masing dalam memaknai sebuah perayaan keagamaan. Termasuk soal paskah ini.

Marthin Luther, seorang tokoh reformator, juga punya pemahaman tersendiri mengenai paskah. Menurut Luther, “paskah terjadi setiap hari hanya saja dirayakan setahun sekali.” Paskah bagi Luther lebih dari sekedar perayaan Gerejawi melainkan bisa menjadi perayaan kehidupan.

Menurut saya, apa yang dimaksudkan Luther itu dekat dengan pemaknaan laku hidup manusia ber-Tuhan dalam jalan spiritual. Mengapa demikian?

Dalam bukunya “Menghari-inikan Injil di Bumi Pancasila” (BPK Gunung Mulia, 2019), Eben Nubantimo, mantan dosen saya di UKSW, membaginya pola hidup orang ber-Tuhan ke dalam 3 bentuk; (1) militan, (2) Religius, dan (3) spiritualis.

(1) Militan. Jalan militan adalah semangat bergama yang ditunjukan oleh sikap rela mati untuk keyakinan yang dipeluknya. Ciri ini lahir pertama kali pada masa perang salib (crusade) beratus-ratus tahun silam.

Pada masa perang salib, orang diyakini harus menunjukan kualitas imannya dengan berperang dengan dalih membela agama. Padahal dalam kenyataannya mereka hanya menjadi korban penipuan dari oknum kerajaan pada masa itu yang mempermainkan ajaran iman demi kepentingan sepihak. Saya rasa, ciri umat berkeyakinan militant masih bisa kita jumpai hari-hari ini dengan melihat masih maraknya kekerasan antar umat beragama saat ini.

(2) Jalan religius. Jalan ini adalah sebuah pemkanaan iman yang diradikalkan pada pemaknaan agama sebagai ritual dan simbol. Corak keimanan ditandai dengan ukuran konkrit semisal menggunakan pernak-pernik agama, besar-kecilnya uang persembahan, dst. Keintiman relasi Bersama Tuhan makin dirasa berkualitas saat aturan yang ditetapkan oleh agama sebagai sebuah institusi makin giat dikerjakan.

(3) Jalan spiritual. Orang-orang yang memaknai hubungan dengan Tuhannya sebagai jalan spiritual menghayati keimanannya lewat laku hidup sehari-hari. Para orang percaya tidak merasa harus mati untuk Tuhannya atau pun mengisi kehidupan mereka dengan memperbanyak laku formal agama melainkan menghayati kehadiran Tuhan lewat tindakan hidup sehari-hari.

Dari ketiga jalan hidup umat beragama tadi, saya tegaskan kembali, bahwa jalan seperti spiritual-lah yang paling cocok dengan pemaknaan paskah versi Marthin Luther. Bahwa kebangkitan Kristus tidak bisa kita maknai setahun sekali, kebangkitan itu harus kita maknai setiap hari.

Dalam inti keyakinan Iman Kristen, paskah sebetulnya mengingatkan kita bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang hidup. Karena kehidupan-Nya itu, maka kita perlu memaknai setiap perintah/firmanNya dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita perlu untuk terus hidup dalam kehidupan kita bersama Kristus yang hidup.

Maka dari itu, paskah sebenarnya tidak pernah sepi dan membosankan. Paskah tidak berkaitan erat dengan obor, keramaian, dan ibadah formal di rumah-rumah ibadah. Paskah selalu bisa dimaknai dan dihayati kapanpun juga bahkan detik ini juga. Paskah bisa dimaknai sebagai upaya kita untuk terus memakai hidup kita untuk menjadi bagian dari kehidupan orang lain.

Menjadikan kehidupan kita sebagai sebuah media dimana orang lain bisa melihat Kristus yang hidup di dalam diri kita dan bersama orang-orang di sekitar kita.

Selamat menghayati dan merayakan Paskah. Teruslah hidup sebagai Ia telah hidup.

Jiayou, Andrà tutto bene, dan Todāh

Oleh: Jear Nenoohai

sumber: http://www.facebook.com

Mazmur 118: 1 “Bersyukurlah Kepada Tuhan, karena Ia baik. Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya”

Pandemi korona sampai sekarang masih menciptakan kecemasan dan kepanikan pada kita semua. Tak kalah gentingnya, muncul para penimbun alat medis berhati keji yang mengakibatkan lonjakan barang medis saat ini. Ada juga kabar bahwa banyak pekerja upah harian yang terpaksa mudik lebih awal karena kehilangan mata pencaharian.  

Meski demikian, dalam keadaan seperti ini, masih banyak kabar baik yang bisa kita konsumsi. Di tempat lain, dalam pandemi ini lahir solidaritas sosial bahkan global. Pada masa karantina, orang-orang di Wuhan, Cina saling berbagi dan membantu. Mereka belajar untuk memberi dan menerima bantuan dari orang lain. Mereka juga saling menyemangati “Jiayou”, begitu semboyan mereka. Artinya jangan menyerah.

Di Italia, terutama di kota Siena dan Naples, orang-orang menyanyi dari jendela rumah mereka untuk saling memberikan semangat, terutama untuk orang-orang yang terkena bencana Korona.“Andrà tutto bene,” begitu kata orang-orang Italia satu sama lain. Artinya, semua akan baik-baik saja. Mereka menuliskannya di dinding-dinding kota. Di dalam bencana, mereka saling menjaga.[1]

Di tanah air, para  netizen yang peduli dengan kesehatan para ahli medis yang bekerja di rumah sakit memunculkan aksi tagar #dirumahaja sebagai simbol bahwa para orang-orang di Rumah sakit sedang tidak bekerja sendirian.

Tradisi untuk saling menguatkan juga lahir kehidupan yang dibangun oleh masyarakat Israel kuno. Tradisi itu disebut “Todāh (terima kasih/thank you). Walter Bruegerman dalam  bukunya  “Pslams” menulis bahwa Todāh dalam tradisi Israel Kuno adalah “a song of thankgsgiving dan“witnesses”.[2] Todāh adalah kesadaran untuk mengucap syukur karena penyertaan Allah pada mereka dari tanah pembuangan hingga tanah perjanjian.

Sebagai bangsa yang pernah lama disiksa di bawah perbudakan, kesadaran untuk mengucap syukur muncul dalam bentuk kepedulian kepada sesama dalam bangsa Israel. Mereka meyakini bahwa apa yang mereka punyai sejatinya adalah pemberiaan Tuhan (grace). Saat memberi, mereka ber-Todāh. Ada ucapan syukur dan harapan yang menyertainya. Artinya, saat memberi, mereka sedang ikut menguatkan kehidupan orang lain sekaligus berdoa agar pihak yang diberi terus diberkati Tuhan. Oleh karena itu, muncul kebiasaan dimana saat orang yang mendapatkan pemberian itu akan berkata Todāh (terima kasih) dan akan dibalas oleh sang pemberi dengan kata yang sama Todāh (bless the Lord/God blesses you). Maka dari itu, bisa kita katakan Todāh bukan sebuah formalitas belaka tetapi sebuah doa dan bahkan “liturgi” kehidupan.

Sebagai bahan perenungan, dalam kondisi seperti ini, kita ditantang bahkan dipaksa untuk hidup dalam solidaritas sosial yang erat. Berbagi kepada komunitas adalah jalan keluar terbaik saat ini. Kita mesti ber-Todāh sebab penderitaan orang lain adalah pendertiaan kita bersama. Hidup kita harus menjadi berkat bagi sesama. Italia dan China telah menunjukan itu. Bahwa persoalan seperti ini tidak bisa dituntaskan sendiri-sendiri, sikap sok dan egoisme hanya akan memperlebar jalan menuju kematian.

Bila memang kita tidak memiliki sesuatu yang berarti bahkan kita menjadi serba berkekurangan karena lilitan social distancing saat ini. Kita bisa mulai dari sesuatu yang sederhana seperti berbagi keindahan bunga di taman dan kiat hidup sehat.

Contoh lainnya, belakangan ini media sosial dipenuhi oleh permainan sederhana untuk membunuh waktu seperti tebak-tebakan di grup-grup whatsapp, tangkap ayam, “say hi,” hingga foto-foto kocak yang diunggah di IG untuk menghibur orang lain, dlsb. Solidaritas sosio-virtual semacam itu amat sederhana, namun sangat menghibur pada netizen termasuk saya.

Akhir kata, marilah kita memulai hari ini dengan ucapan syukur (Todāh)dan tak lupa untuk berupaya menjadi berkat (Todāh) bagi orang lain.

Renungan Guru-guru SMAK 5 BPK PENABUR Jakarta Jumat, 3 April 2020.


[1] Paragraf kedua dan ketiga saya kutip secara utuh dari tulisan Reza Wattimena,“Jiayou, Andrà tutto bene” Ketika Bencana Melanda” dikutip dari https://rumahfilsafat.com/2020/03/23/jiayou-andra-tutto-bene-ketika-bencana-melanda/ pada tanggal 4 April 2020.

[2] Walter Bruegerman, Psalms (Cambridge University Press, 2014), 136-138.

Kembali

Oleh Jear Nenohai

sumber: nu.or.id

Pengkhotbah 3:1: Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.

(Ilustrasi) “Akhir-akhir ini, Joni enggan bermain media sosial. Bagaimana tidak! Setiap kali Joni membukanya, Joni selalu berjumpa dengan info “Corona.” Hampir tidak ada info lain yang hadir di sana. Jujur, info-info itu menganggu keseimbangan hidup Joni.

Belum lagi, info kematian yang datang bersamaan dengan info Corona.  Kesedihan mereka yang memberi kabar kematian itu merasuk menjadi kesedihan dalam diri Joni. Sebuah pertanyan pun muncul dalam benak Joni, kapan kekacauan ini akan berakhir? Sayang sekali, Joni tak bisa menjawabnya. Yang Joni tahu, pertanyaan ini barangkali juga ditanyakan oleh semua orang di dunia ini.

Untuk menggeser perhatian pada Corona itu, Joni kembali mencoba masuk dalam aktifitasnya. Joni duduk berjam-jam menatapi laptopnya. Menullis beberapa kalimat pada office word. Tetapi aktifitas itu tak berlangsung lama. Joni selalu berpindah dari laptop ke telepon genggamnya tiap kali ada pemberitahuan masuk.

Bisa dibilang, Joni sedang menjadi orang lain.

Dalam drama kekacauan diri Joni ini, Joni secara tak sengaja menonton sebuah presentasi pada channel youtube TedX-nya berdurasi 18 menit dari Barbara Oakley, seorang Profesor pada bidang teknik belajar, di Oakland University, US. Sejak saat situ, hidup Joni berubah.

Barbara Oakley, dalam presentasinya, berpandangan bahwa ada pengaruh kuat dari bahasa pada sistem kerja otak manusia. Menurut Barbara, ada dua cara berpikir (mode of brain) khas manusia yang ia sebut diffuse mode dan focus mode.[1]

Focus mode adalah keterarahan cara berpikir kita yang sangat konstan pada suatu objek hingga pikiran kita mengabaikan keberagaman kenyataan. Lawan dari itu adalah diffuse mode yang berarti keadaan pikiran yang terbaur dan terpadu pada kenyataan hidup yang beragam.

Setelah menonton pemaparan Barbara itu. Joni menyadari bahwa Joni sedang tenggelam di dalam focus mode. Perubahan diri Joni datang dari keadaan berpikir yang berpusat pada Corona saja. Joni seperti sebuah mesin yang tertuju pada satu kenyataan hidup hingga aktifitas kesehariannya pun ikut terganggu. Akhirnya Joni berupaya untuk keluar dari focus mode dan beralih pada diffuse mode agar mendapatkan kembali keberagaman aktifitas hariannya”

Sesungguhnya, apa yang terjadi pada Joni dekat dengan maksud Qohelet dalam pengkhotbah 3:1-14. Bahwasanya kehidupan manusia selalu beragam dan kita perlu dengan bijak memberikan perhatian dan waktu kita pada semua itu. Kepada kehidupan kita yang singkat ini.

Dalam keadaan seperti saat ini, seperti Joni, barangkali kita hanya memerhatikan Corona semata. Kita lalu lupa untuk kembali kepada waktu dan kehidupan harian kita. Padahal kita juga perlu memberikan waktu-waktu kita pada apa yang harus kita nikmati. Ada waktu untuk memerhatikan info Corona, ada waktu untuk memerhatikan urusan kita sendiri.

Bercermin dari Joni, dengan kembali kepada waktu-waktu kehidupan kita, kita sebenarnya sedang kembali berjumpa pada apa anugerah sedang yang Tuhan berikan pada kita. Anugerah-anugerah itu datang berupa hal-hal  sederhana seperti cahaya matahari pagi, makanan yang masuk ke tubuh kita, hingga sapaan hangat dari rekan-rekan dan saudara kita.

Maka dari itu, di bawah terang kebijaksanaan Pengkhotbah, hidup bijaksana dengan waktu adalah cara yang baik untuk kita semua perhatikan dan jalani hari ini. Kita perlu kembali menikmati anugrah Tuhan yang selalu hadir dalam waktu yang singkat ini. Kita butuh untuk kembali kepada perpaduan hidup dalam keseharian kita yang masih sedang berlansung.

Renungan Guru dan siswa/i SMAK 5 BPK PENABUR JAKARTA Rabu, 1 April 2020.

[1]Learning how to learn | Barbara Oakley | TEDxOaklandUniversity  https://www.youtube.com/watch?v=O96fE1E-rf8

Design a site like this with WordPress.com
Get started