Menalar “tuhan” menurut Franz Magnis-Suseno

Jear bersama Romo Franz Magnis-Suseno di STF Driyarkara pada tahun 2014.

Oleh; Jear Nenohai

Bertepatan dengan hari buku (17 Mei 2020), saya membagikan isi sebuah buku yang menurut saya paling menarik dan berpengaruh bagi diri saya yakni buku Franz Magnis Suseno, menalar tuhan (Jogjakarta: Kanisius, 2006).

Menurut saya buku ini adalah buku yang sulit untuk dipahami. Romo Simon Lili Thahjadi pernah berkata “saya tidak mengerti apa yang ingin disampaikan Magnis dari buku itu.” Kendati demikian, menurut saya anda akan sangat rugi bila tidak membaca dan mencerna isi buku “menalar tuhan” sebaik mungkin.

Bila anda merasa penting untuk memahami makna tuhan dan kerangka berpikir manusia akan ketuhanan maka bacalah buku ini namun apabila anda tidak tertarik dengan isu seputar ketuhanan, maka anda boleh tidak membacanya.

Tema yang diangkat dalam buku ini sungguh beragam, Romo Magnis memberi perhatian pada keingintahuan akan tuhan dan bagaimana tuhan itu dibangun dan dipercayai. Juga dalam buku ini, kita bisa bertemu tema mengenai filsafat ketuhanan, sejarah agama, theisme dan atheisme, tuhan dan alam, tuhan dan etika, sampai pada persoalan keberadaan tuhan di hadapan kejahatan.

Magniz memberi penekanan bahwa tantangan yang dijawab buku menalar tuhan adalah “bagaimana agar kita dapat memberikan pendasaran rasional yang bertanggungjawab akan keberadaan tuhan agar tuhan tidak dipercayai dan diteladani secara asal-asalan (hal 17-19).”

Magniz mempercayai bahwa tuhan amatlah rasional untuk dipercayai lagi diimani. Terkait rasionalitas, dalam “menalar tuhan,” Magnis menganalisa bagaimana tuhan itu sendiri dibangun dalam konsepsi agama-agama dunia seperti agama-agama abarahamistik (kristen, islam, yahudi), budha, hindu, dan konghucu. Secara garis besar, dinamika kepercayaan akan tuhan didasarkan pada kehadiran tuhan dalam kehidupan umatnya. Pada agama Abrahamistik, Tuhan dipercayai melaui cara atau wahyu tuhan pada umat beragama. Tuhan berbicara melalui perantaranya (nabi) dan kitab suci. Wahyu adalah sumber iman dan cara manusia memahami tuhan.

Secara khusus budha, hindu, dan konghucu bergerak dari ranah selain wahyu. 3 agama tadi memercayai tuhan melalui personafikasi ciptaannya misalnya pada alam. Jadi dalam tubuh alam terdapat kehadiran tuhan yang dipercayai dan dibangun dalam konsepsi dewa-dewi. Pada pokoknya, tuhan dalam agama-agama seperti yang disebutkan tadi adalah sosok transenden yang menghampiri manusia dan memberikan panduan kehidupan kemanusiaan dan ciptaan yang dicintainya.

Pembahasan mengenai tuhan tidak hanya datang dari kubu kelompok beragama. Magnis juga membahas pemahaman tuhan dalam proyek penceharan, modernitas eropa, dan paham yang dibangun sesudahnya. Dalam kepercayaan paham pencerahan, terkhususnya pencerahan eropa, tuhan tidak lagi dikaji melalui ajaran agama tertentu melainkan oleh proyek akal budi manusia. Melalui akal budi, tuhan dimaknai dan dibahasakan secara baru. Di sini, tuhan pun muncul dalam beragam istilah (konsepsi) seperti monoteisme, deisme, politeisme, ateisme, dan lain sebagainya. Sosok tuhan bersifat transenden tetapi sekaligus imanen. Artinya tuhan tidak dapat dipahami dan bebas dimaknai. Maka dari itu tuhan muncul dalam pemahaman dan menjadi sumber moral seperti pada proyek suara hati Imanuel Kant dan etika Levinas.

Karya modernitas bisa dikatakan sebagai asal mula proyek pemahaman tuhan dipakai dan diperluas pada beragam konteks. Tuhan dibuat sedemikian rupa agar masuk akal dan tidak masuk akal. Tuhan bukan lagi sebuah kenyataan selain manusia melainkan murni pekerjaan manusia. Di sini, para pemikir pun memakai pisau bedah filsafat untuk mengkaji pemahaman tuhan secara sistematis dan argumentatif. Karena tuhan adalah karya manusia, maka munculah sebuah pemahaman penolakan akan tuhan secara filosofis yang begitu terkenal yakni ateisme. Pemikir yang menghiasi khasanah atheisme itu seperti Feurbach, Sartre, Comte, Freud dan lain sebagainya.

Kendati demikian, proyek modernitas yang banyak merujuk Kant sebenanrya membuka jalan bagi otonomi tuhan bukan satu-satunya jalan utama bahwa pemaknaan tuhan itu begitu luas dan kaya. Mendasarkan pemikiran pada paham para pemikir komunitarianisme (seperti Charles Taylor, Walzer, McIyntre, Sande) Magniz bersepakat bahwa manusia yang rasional tidak pernah lebas dari zona ruan dan waktu yang mengitarinya. Maka keberagaman pembahasan menjadi mungkin dan tetap rasional. Tuhan yang esa tidak bisa dimakna-tunggalkan melainkan mesti dipahami lewat pembacaan makna-makna tuhan yang luas seluas warna konteks dimana konsepsi tuhan itu ditelurkan.

Lebih lanjut, buku menalar tuhan memberikan kita informasi bahwasanya kepelbagaian pembahasan mengenai tuhan adalah konsekuensi lebih lanjut dari pencarian akalbudi, filososif, tradisionalis, maupun teologis mengenai tuhan. Sebagai seorang filsuf, magnis melihat bahwa pembahasan tuhan dengan menggunakan bangunan logika mengakibatkan tuhan banyak dimaknai bahkan dibuktikan secara filosofis. Akan tetapi, bagi Magniz, tuhan sejatinya tidak bisa dikengkang dalam roh akal budi manusia secara filosofis. Dan menurut saya di siniah letak keanehan sekaligus keindahan buku ini. Magnis menulis, “filsafat mencoba menjelaskan tuhan dan gagal (hal 225).”

Kegagalan filsafat itu bagi Magniz adalah dampak dari batas rasional ciptaan (hal 234-235). Dalam pemahaman Magniz, keterbatasan kemanusiaan itu adalah keterbatasan yang menunjukan kenyataan manusia sebagai ciptaan. Tuhan sebagai pencipta hanya bisa dipahami dan dijangkau sejauh keberdayaan manusia yang dianugerahi Tuhan (215-216). Uniknya, di sini Magniz tidak bermaksud bahwa iman kemudian memperbudak filsafat melainkan filsafat hadir untuk memperkokoh rasionalitas manusia dalam mempertajam imannya. Iman yang tidak dilandaskan kembali kepada kemampuan asali manusia (rasional) hanya membuat seorang beriman menjalankan ajarannya secara membabi buta. Dalam istilah Romo Adrianus Sunarko, orang sebenarnya sedang berteologi sambil berfilsafat tanpa sadar (A. Sunarko, Teologi Fundamental, Penerbit Ledalero; 2013). 

Menurut saya pribadi, di sini jelas kita melihat bentuk kualitas pandangan akademis dan rohani Magnis terkait tuhan. Tentu Magnis tidak sedang membangun konsepsi tuhan tertentu melainkan dia berbicara sebagai bagian dari ciptaan tuhan itu sendiri. Bahwa tuhan itu ada dan mesti diimani secara mendalam lewat bantuan filsafat.

Pokok utama yang bisa kita ambil dan pelajari dari buku ini adalah tuhan merupakan kenyataan yang bebas makna dan harus dibicarakan oleh manusia secara bebas dan bertanggungjawab. Saya menduga bahwa Magniz ingin memberikan penekanan utama, melalui buku ini, bahwa tuhan bukan hal yang tabu, dibicarakan, apalagi dikritik. Tuhan adalah bagian dari kenyataan hidup manusia dan memberikan pemaknaan kepada manusia. Pemaknaan itu mesti dibicarakan dalam bahasa yang iman yang rasional agar manusia menemukan makna terdalam dari tuhan yang diimani.

Oleh sebab itu, dengan kembali kepada tujuan awal buku ini, tuhan harus dimaknai secara rasional dan bertanggungjawab. Tentu dua kata utama itu merujuk pada pemaknaan yang manusiawi. Rasional dilandaskan pada penjelasan tentang tuhan adalah upaya yang yang masuk akal meski harus gagal dan pembahasan itu harus selalu elegan serta sopan alias bertanggungjawab. Magniz sendiri mengatakan “tetapi orang beriman yang berani mengikuti pertimbangan-pertimbangan itu, justru dapat diantar ke iman (hal 234). Bahwa pemaknaan mengenai tuhan harus terus dibicarakan manusia sambil tetap membuka diri dari segala keterbatasan manusawi yang hadir sebagai dari bukti bahwasaya manusia hanyalah mahluk ciptaan biasa.

Oleh karena itu, penjelasan panjang di atas adalah alasan mengapa saya pribadi sangat terpengaruh kuat oleh buku ini. Di samping itu, saya bersepakat dengan Magniz bahwa tuhan itu memang ada sekaligus tuhan adalah realitas yang luas. Corak ketuhanan tidak oleh dipahami dan dimaknai secara sempit hanya pada satu ajaran agama dan paham filisofis saja. Bahasa kemanusiaan selalu akan bisa gagal sehingga pemaknaan iman kita tidak boleh kaku dan staknan. Maka perluasan percakapan mengenai tuhan yang bertanggungjawab membawa kita pada tindakan memperkaya iman kita sendiri.

Keluasan pemaknaan tuhan sejatinya bukan masalah utama bagi iman ajaran manapun. Keluasan dan keleluasaan makna tuhan justru merupakaan kenyatan yang menegaskan kemahakuasaan Tuhan sekaligus keterbatasan kita. Tentu ini bukanlah masalah bagi kita umat beriman. Justru dengan berangkat dari keterbatasan kita, kita justru sedang tetap hidup sebagai manusia yang masih bisa mempercayai Tuhan. Bukankah dengan demikian, kita tidak sedang merugi dan lebih banyak untung dalam hidup beriman? Oleh sebab itu, kita masih tetap mampu memegang keyakinan kita sambil beriman dan percaya pada Tuhan.

Meminjam istilah teman saya Nathan Blegur, kita tetap membiarkan tuhan menjadi tuhan dan manusia menjadi manusia tanpa harus kehilangan iman kita.

Author: jearnenohai

Saya orang yang menemukan Tuhan dalam benturan kehidupan sehari-hari dan mencintai keseimbangan hidup.

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started