Paskah

Oleh: Jear Nenohai

sumber: fordham news

Paskah tahun 2020 ditetapkan sebagai Paskah yang paling membosankan sebab tahun ini adalah paskah tanpa obor, tanpa pawai, tanpa salam-salaman dengan tetangga dan lain sebagainya. Itulah kesimpulan sementara dari survei tanggapan paskah yang saya lakukan di akun-akun medial sosial saya.

Arti paskah seakan menjadi kurang bermakna bagi mereka yang begitu mencintai religious ceremony atau mereka yang melihat agama sebagai sebuah perayaan yang meriah dan megah. Kendati demikian, tidak semuanya menyetujui hal itu. Maklum saja, orang punya cara masing-masing dalam memaknai sebuah perayaan keagamaan. Termasuk soal paskah ini.

Marthin Luther, seorang tokoh reformator, juga punya pemahaman tersendiri mengenai paskah. Menurut Luther, “paskah terjadi setiap hari hanya saja dirayakan setahun sekali.” Paskah bagi Luther lebih dari sekedar perayaan Gerejawi melainkan bisa menjadi perayaan kehidupan.

Menurut saya, apa yang dimaksudkan Luther itu dekat dengan pemaknaan laku hidup manusia ber-Tuhan dalam jalan spiritual. Mengapa demikian?

Dalam bukunya “Menghari-inikan Injil di Bumi Pancasila” (BPK Gunung Mulia, 2019), Eben Nubantimo, mantan dosen saya di UKSW, membaginya pola hidup orang ber-Tuhan ke dalam 3 bentuk; (1) militan, (2) Religius, dan (3) spiritualis.

(1) Militan. Jalan militan adalah semangat bergama yang ditunjukan oleh sikap rela mati untuk keyakinan yang dipeluknya. Ciri ini lahir pertama kali pada masa perang salib (crusade) beratus-ratus tahun silam.

Pada masa perang salib, orang diyakini harus menunjukan kualitas imannya dengan berperang dengan dalih membela agama. Padahal dalam kenyataannya mereka hanya menjadi korban penipuan dari oknum kerajaan pada masa itu yang mempermainkan ajaran iman demi kepentingan sepihak. Saya rasa, ciri umat berkeyakinan militant masih bisa kita jumpai hari-hari ini dengan melihat masih maraknya kekerasan antar umat beragama saat ini.

(2) Jalan religius. Jalan ini adalah sebuah pemkanaan iman yang diradikalkan pada pemaknaan agama sebagai ritual dan simbol. Corak keimanan ditandai dengan ukuran konkrit semisal menggunakan pernak-pernik agama, besar-kecilnya uang persembahan, dst. Keintiman relasi Bersama Tuhan makin dirasa berkualitas saat aturan yang ditetapkan oleh agama sebagai sebuah institusi makin giat dikerjakan.

(3) Jalan spiritual. Orang-orang yang memaknai hubungan dengan Tuhannya sebagai jalan spiritual menghayati keimanannya lewat laku hidup sehari-hari. Para orang percaya tidak merasa harus mati untuk Tuhannya atau pun mengisi kehidupan mereka dengan memperbanyak laku formal agama melainkan menghayati kehadiran Tuhan lewat tindakan hidup sehari-hari.

Dari ketiga jalan hidup umat beragama tadi, saya tegaskan kembali, bahwa jalan seperti spiritual-lah yang paling cocok dengan pemaknaan paskah versi Marthin Luther. Bahwa kebangkitan Kristus tidak bisa kita maknai setahun sekali, kebangkitan itu harus kita maknai setiap hari.

Dalam inti keyakinan Iman Kristen, paskah sebetulnya mengingatkan kita bahwa Tuhan yang kita sembah adalah Tuhan yang hidup. Karena kehidupan-Nya itu, maka kita perlu memaknai setiap perintah/firmanNya dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita perlu untuk terus hidup dalam kehidupan kita bersama Kristus yang hidup.

Maka dari itu, paskah sebenarnya tidak pernah sepi dan membosankan. Paskah tidak berkaitan erat dengan obor, keramaian, dan ibadah formal di rumah-rumah ibadah. Paskah selalu bisa dimaknai dan dihayati kapanpun juga bahkan detik ini juga. Paskah bisa dimaknai sebagai upaya kita untuk terus memakai hidup kita untuk menjadi bagian dari kehidupan orang lain.

Menjadikan kehidupan kita sebagai sebuah media dimana orang lain bisa melihat Kristus yang hidup di dalam diri kita dan bersama orang-orang di sekitar kita.

Selamat menghayati dan merayakan Paskah. Teruslah hidup sebagai Ia telah hidup.

Author: jearnenohai

Saya orang yang menemukan Tuhan dalam benturan kehidupan sehari-hari dan mencintai keseimbangan hidup.

Leave a comment

Design a site like this with WordPress.com
Get started